Selasa, 07 Desember 2010

Puisi Persahabatan

Untaian katamu ternyata palsu
Janji indah telah kau ingkari
Untuk terus menjadi sahabatku

Tahukah kau sobat???
Bahwa segala luka yang menyobek hatimu
Dapat juga ku rasakan dan menusuk jiwaku
Bahwa darah yang menetes dari luka itu
Seiring air mata yang mengalir di pipiku

Sadarkah kau sobat???
Bahwa kepedihan yang selalu tampak di wajahmu
Adalah mimpi terburuk yang membebaniku
Bahwa sikap dinginmu untukku
Adalah pedang yang terus menghujam dadaku

Dulu secercah tawamu yang indah
Selalu menggelitik jiwaku untuk tersenyum
Tapi kini semua tlah berubah
Dan bukan lagi kebahagiaan
Yang mampu kau berikan padaku
Karena sahabat…
Kau khianati aku
k au cemari ikatan kita
Kau dengan mudah melepas jemariku
Padahal kau melihat aku
Rapuh tanpa kau di sampingku

Mengapa kau rusak hubungan ini???

Kawan…..
Engkau telah mengisi hari hari ku
Dengan canda tawamu
Nampak wajahmu ceria nan rupawan

kawan…...
begitu bertartinya kau dalam hidup ini serasa hampa jika kau tak disisi

Kumelangkah tanpamu disampingku
Serasa diruang tak berpenghuni
Walau kuberada dikeramaian
Rasa linglung jika kau tak menemani
Tak tahu berbuat apa
Tanpamu disisi

Kawan…....
Kaulah tempat curahanku
Tempat curahan dari segala gundahku
Kapanpun dimanapun bagaimanapun
Dalam keadaan apapun
kau….selalu ada untukku
Selalu ada disetiap kubutuh

Kawan…......
begitu besar jasamu
Kata terimakasih tak cukup membalas jasamu

Kawan….
Betapa besar jasamu
Tak dapat diungkap dengan kata
Andaikan air laut sebagai tinta
Bahkan seisi bumipun tak cukup sebagai tinta
Untuk menuliskan jasamu

Kawan….....
Kuingin selalu bersamamu
Rasa tak ingin kulalui waktu tanpamu

Sahabat terkadang bisa buat kita senang
Tapi sahabat juga bisa membuat kita terluka
Dikala engkau senang
Dikala engkau sedih

Sahabat…,
Kenapa engkau hadir dalam hdupku
Kenapa engkau membuatku menangis…?
Kenapa engkau tersenyum dalam tangisku?
Begitu mudahnya kau melupakan persahabatan kita…
Sia-sia kita bina persahabatankita ini
Selamat tinggal sahabat sejatiku…

Persahabatan tak butuh keajaiban,,
Yang ada hanya sebuah kebersamaan
Untuk selalu terus berjalan

Persahabatan bukan permainan
Bukan pula sebuah ujian
Juga bukan sebuah hayalan
Persahabatan adalah jembatan
Untuk mencapai sebuah tujuan

Persahabatan selalu berharap
Semua teman memperoleh kebahagian
Persahabatan adalah sebuah perwujudan
Kasih sayang yang terlewatkan
Cinta yang tak terungkapkan

Persahabatan. . .
Selalu berbuah kebahagiaan
Karena persahabatan takkan hilang termakan zaman

Kau adalah sahabatku teman pelipur laraku
Bersamamu aku bisa ber bagi cerita indah
Cerita tentang kegagalanku
Dan dengan mu pula aku bisa tuangkan segala keluh kesahku

Sahabat…
Saat kau sedih aku menangis
Saat kau terluka hatiku tercabik
Saat kau gundah aku selalu resah

Sahabat. . .
Jangan kau anggap aku orang lain
Aku adalah dirimu
Aku adalah saudaramu
Aku siap korban kan jiwaku agar kekal persahabatan kita

Teman itu seperti bintang
Tak selalu nampak
Tapi selalu ada dihati…

Sahabat akan selalu menghampiri ketika seluruh dunia menjauh
Karena persahabatan itu seperti tangan dengan mata
Saat tangan terluka, mata menangis
Saat mata menangis, tangan menghapusnya

Kuatkah aku menjalani ini.?
Kebersamaan kita memang indah
Bahkan terasa sangat manis


Kau teman berbagiku
Kau tempat ku curahkan resah dan gelisahku
Bercanda dan tertawa bersama
Menghangatkan tubuh dan jiwaku

Tapi. . .
Dalam tawa itu aku menjerit
Dalam kehangatan dekapanmu aku menggigil

Kau teman terbaikku
Tapi bukan pemilik cintaku

CERPEN : Tikus dan Manusia

Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun. Tubuhnya cukup besar dan bulunya hitam legam.
Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, dan otomatis kedua kaki saya angkat ke atas.

Baru kemudian muncul kemarahan dan dendam saya. Saya mencari semacam tongkat di dapur, dan hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu saya balik memegangnya dan menuju ke arah balik rak buku. Tangan saya amat kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bagian bawah di mana terdapat lubang untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya harus mematikan televisi dulu yang ternyata masih menayangkan adegan panas pasangan intelektual Inggris itu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang saya tiba-tiba. Imigran gelap rumah itu saya biarkan selamat dahulu.

Saya tidak pernah menceritakan keberadaan tikus itu kepada istri saya yang pembenci tikus, sampai pada suatu hari istri saya yang justru memberitahukan kepada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami.

”Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali! Item!”
”Di mana mamah lihat?”
”Di dapur, lari dari rak piring menuju belakang kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan pisau dapur ke arah kulkas di dapur.

”Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah bersih. Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?”
”Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya santai sambil mengembalikan buku Nietsche ke rak buku.
”Jangan santai-santai saja Pah, cepat lihat kolong kulkas!”

Wah, situasi semakin gawat. Saya memenuhi perintah istri saya dengan menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun. Tikus keparat! Ke mana dia menghilang?
Sejak itu istri saya amat ketat menjaga kebersihan. Semua piring di rak dibungkus kain, juga tempat sendok. Tudung saji diberati dengan ulekan agar tikus tidak bisa menerobos masuk untuk menggasak makanan sisa. Gelas bekas saya minum nescafe-cream malam hari harus ditutup rapat. Tempat sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu. Strategi kami adalah semua tempat makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus tak akan bisa menerobos.

Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal, yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri saya dan di tengah-tengah lumeran lem itu ditaruh ampela ayam bagian makan malam saya. Jebakan lem tikus ditaruh di kaki kulkas. Pada malam itu, ketika istri saya tengah asyik menonton sinetron ”Cinta Kamila”, yang setiap malam setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-tiba berteriak memanggil saya yang sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si tikus terperangkap. Saya segera menutup buku dan lari ke dapur menyusul istri. Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dari kertas yang berlem itu.

”Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yang entah disimpan di mana di dapur itu.
”Jangan dipukul Pah!”
”Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol.
”Selimuti dengan kertas koran. Bungkus rapat-rapat. Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.”
”Lalu diapakan?” Saya semakin dongkol.
”Buang di tempat sampah!”
”Aah, mana pukul besi?” Kedongkolan memuncak.
”Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja rapat-rapat!”

Saya mengalah. Ketika tikus itu akan saya tutupi kertas koran, matanya kuyu penuh ketakutan memandang saya. Ah persetan! Saya menekan rasa belas kasihan saya. Tikus saya bungkus rapat-rapat, lalu saya buang di tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa memenuhi perintah istri saya agar penutupnya diberati batu.
Siang harinya sepulang dari mengajar, istri saya terbata-bata memberi tahu saya bahwa tikus itu lepas ketika Mang Maman tukang sampah mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus meloncat dari gerobak sampahnya dan lari ke kebun sebelah dengan terbungkus kertas coklat. Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Bi Nyai, pembantu kami, bahwa dia melihat tikus hitam yang belang-belang kulitnya.

Geram juga saya, dan diam-diam saya membeli dua jebakan tikus. Ketika mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan.
”Darahnya ke mana-mana,” katanya.
”Ah, gampang, urusan saya. Kalau kena lantai, saya akan pel pakai karbol,” jawabku.
Istri saya mengalah, dan rupanya merasa punya andil bersalah juga. Coba kalau tikus itu dulu kupukul kepalanya, tentu beres.

Pada waktu subuh istri membangunkan saya.
”Tikusnya kena Pah!”
Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan persis pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Ketika saya amati dari dekat, ternyata bukan tikus yang kulitnya sudah belang-gundul.
”Ini bukan tikus yang lepas itu Mah!”
”Masa?” Ia mendekat mengamati.
”Kalau begitu ada tikus lain.”
”Mungkin ini istrinya,” celetekku.
Ketika mau saya lepas dari jebakan, istri saya melarangnya.
”Buang saja ke tempat sampah dengan jebakannya.”

Rasa tidak aman masih menggantung di rumah kami. Tikus belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami memasang lagi lem tikus dengan berganti-ganti umpan, seperti sate ayam, sate kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap si belang. Bibi mengusulkan agar dikasih umpan ayam bakar. Saya membeli sepotong ayam bakar di restoran padang yang paling ramai dikunjungi orang. Sepotong kecil paha ayan itu dipasang istri saya di tengah lumeran lem Fox, sisanya saya pakai lauk makan malam.

Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus menggeliat-geliat melepaskan diri dari karton tebal yang dilumuri lem. Tikus itu benar-benar musuh istri saya, di beberapa bagian badannya sudah tidak berbulu. Kasihan juga melihat sorot matanya yang memelas seolah minta ampun.
”Mah, cepat ambil pukul besinya.”
Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil berteriak.

”Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu. Kepala tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”
Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah belajar bahwa tikus yang meronta-ronta itu bisa lepas lagi.
”Cepat sana cari koran!” bentakku jengkel.
”Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya dongkol juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang meronta-ronta semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa lepas juga sekarang.

Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah.
Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia marah-marah kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak mendengar lagi sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai pada suatu pagi istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bayi tikus! Inilah gejala perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.
”Harus kita temukan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka hidup, rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri.
Lalu kami melakukan pencarian besar-besaran. Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus tidak ketemu. Bayi-bayi itu juga tidak kedengaran tangisnya lagi. ”Mungkin ada di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya.

”Nunggu Mang Maman kalau ambil sampah siang,” kata istri.
Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah, bibi minta kepadanya untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus.

”Di sebelah mana Bu?” tanya Mang Maman.
”Tadi hanya terdengar di dapur saja. Mungkin di atas dapur ini atau dekat-dekat sekitar situ,” sahut istri saya.
Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak dari para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman membawa bayi-bayi itu di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga.
”Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yang lain sudah lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.”
Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah itu.

”Bunuh dan buang ke tempat sampah Mang” kata istri saya.
”Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”
”Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.
”Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis.
”Obat kuat? Bagaimana memakannya?”
”Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap lebih dulu.”

Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan dilemparkan ke gerobak sampahnya.

Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia. Tikus selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir.
Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yang baru.

CERPEN

Skandal Cinta di Pohon Cherry


Rasanya lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura bagiku dan Eva. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Eva sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut, mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!

“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris. Bisa, Ta?” Eva membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.
“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.

* * *

“Ev, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Eva, sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ev, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.
Eva sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya. Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku, Eva.

“Ini cowok Eva ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja, yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.
“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.
Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2 helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai dihembus angin sepoi-sepoi.
“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Eva mengantarnya ke gerbang kos di bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga mengatup kisah pada hari itu.

* * *

“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku  yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp
Eva. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Eva memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang Andi, Eva bilang kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis ‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga kerap kali menghubungi Eva. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!

Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu hari ini, saat aku membuka facebook Eva. Di sana, aku menemukan pesan yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Eva, di bawah pohon cherry di depan kos.
Begitu Eva pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Eva bilang malam ini dia akan mengerjakan tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk redam hatiku.

Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua, dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Eva terkejut melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia terjengkang. Eva berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku ke Eva.
“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya  yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.

* * *

Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!
Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.
“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi, berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku terpesona.

“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa manisnya dia.

Arti Kehidupan Dalam Keluarga

Keluarga bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Ketika kecil kita dibesarkan dan hidup bersama keluarga, ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, dst. Pengalaman ketika masa kecil itu membawa kita pada kematangan berfikir tentang kehidupan. Kasih sayang yang diberikan orang tua sebagai keluarga utama kita membawa pengaruh besar bagi kehidupan kita.

Bersyukur kita dilahirkan dari keluarga yang memberikan kasih sayang kepada kita. Bayangkan bila kita tidak punya orang tua yang mengasihi kita, atau berada dalam lingkungan keluarga yang tidak mengenal tuhan. Tentu itu akan memberikan dampak psikologis bagi diri kita. Dan tidak sedikit anak-anak yang masuk dalam dunia hitam karena keluarga yang 'broken home'. Perilaku yang keras dari lingkungan sekitar menyebabkan kita mudah emosi dan curiga kepada orang lain di sekitar kita.

Pemahaman keagamaan juga tidak jauh dari pengaruh dan didikan dari keluarga. Bila kita dilahirkan dari keluarga sholeh maka pengaruh kesholehan itu akan terlihat dari tingkah laku kita, walau itu bukan jaminan. Demikian juga bila kita dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang mendurhakai Allah, maka pengaruhnya juga akan terasa dalam kehidupan kita. Sangat sedikit orang yang bisa keluar dari pengaruh buruk keluarga, walau itu juga bukan hal yang mustahil terjadi.

Hal yang sama akan terjadi juga ketika kita mulai menjadi orang tua, anak-anak yang mulai tumbuh besar dan mengenal lingkungannya. Keberadaan kita akan menentukan jalan kehidupan sang anak berikutnya. Bila kita dan lingkungan memberikan teladan yang baik akan memberikan nilai bagi sang anak. Sebaliknya juga sama lingkungan yang buruk akan menghambat perkembangan psikologis sang anak. Makanya kita perlu belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita.

Sekarang di usia yang semakin dewasa, ditambah lagi tanggung jawab untuk membesarkan anal-anak kita, terasa sekali betapa sabarnya orang tua kita atas perilaku kita. Terasa sekali bagaimana kasih-sayang mereka yang begitu dalam diri kita.

Sering terbayang wajah orang tua yang penuh kasih, kakak-kakak yang penyayang, tingkah polah lucu adik-adik, demikian juga nenek, paman, orang yang pernah hadir dalam kehidupan kita, ketika ujian datang menghadang kita. Ternyata keluarga punya arti yang luar biasa dalam diri kita, khususnya saya.